Di tengah booming bisnis penerbangan dengan pertumbuhan jumlah penumpang yang impresif, PT Metro Batavia selaku operator maskapai Batavia Air, justru bangkrut karena tak mampu membayar hutang senilai USD4.688juta kepada kreditor. Akibatnya, Batavia dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat, Rabu 30 Januari 2013.
Sejumlah kalanagan mengingatkan bahwa kasus pailit Batavia menjadi sinyal peringatan bagi maskapai lain bahwa tingkat kompetisi di bisnis ini sangat ketat. Maskapai yang tidak didukung fundamental keuangan yang kuat, manajemen yang solid, dan kurang perhitungan dalam ekspansi bisa tergusur dari persaingan.
Pernyataan pailit terhadap Batavia diputuskan berdasarkan surat Nomor 77/Pailit/2012/PN Niaga Jakarta Pusat. Menurut pejabat Humas PN Jakarta Pusat Bagus Irawan, gugatan pailit diajukan perusahaan sewa guna pesawat internaional Lease Finance Corporation (ILFC) dari Amerika Serikat.
Bagus Irawan menyatakan, Batavia mengaku tidak bisa membayar utang karena force majeur. Batavia yang terlanjur mendatangkan Airbus A330 dari ILFC ternyata gagal dalam tender angkutan haji karena tidak memenuhi persyaratan. Akibatnya, banyak pesawat yang menganggur. Sebuah perusahaan dinyatakan bangkrut bila kondisi keuangannya tidak sehat, baik karena kerugian atau sebab lain, sehingga tidak mampu membayar utang-utangnya (insolvent). Akibat kebangkrutan itu, perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonan perusahaan sendiri maupun kreditornya. Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, perusahaan dapat dipailitkan apabila tidak mampu melunasi hutang dua atau lebih kreditor yang telah jatuh tempo.
Manajemen Batavia Air menerima putusan pailit tersebut. Dengan keputusan itu, Manajer Humas Batavia Air Elly Simanjuntak menegaskan, Batavia Air menghentikan seluruh kegiatan operasional terhitung sejak 31 Januari 2013 pukul 00.00 WIB. Meski demikian, Batavia diberi kesempatan untuk mengajukan kasasi selama periode delapan hari sejak keputusan pailit. Jika kasasi tidak diajukan, Batavia resmi pailit dan penanganannya diambil alih oleh kurator.
Menurut Elly Simanjuntak, kebangkrutan Batavia berawal dari langkah perusahaan untuk leasing pesawat berbadan lebar Airbus 330 dari ILFC guna angkutan jemaah haji. Ternyata tiga tahun berturut-turut Batavia Air tidak mendapatkan proyek haji, sehingga terjadi tunggakan-tunggakan pembayaran. Seluruh hutang Batavia ke ILFC sebesar USD4,688juta telah jatuh tempo pada 13 Desember 2012. “Adanya informasi negatif dan simpang siur mengenai Batavia Air yang beredar selama beberapa waktu terakhir ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan para agen, pelanggan dan partner bisnis Batavia Air,” tutur Elly.
Untuk proses selanjutnya, PN Jakpus telah menunjuk empat kurator, yakni Turman Panggabean, Andra Reinhard Sirait, Permata N Daulay, dan Alba Sukma Hadi. Para kurator tersebut akan menangani segala urusan dan dampak dari penutupan Batavia Air, termasuk urusan refund atau endorse tiket para penumpang, kargo, pajak, penyelesaian karyawan Batavia, serta mitra terkait seperti biro perjalanan, kreditor, dan lain-lain.
Elly menjelaskan para penumpang yang sudah memiliki tiket Batavia Air dan belum terbang bisa melapor ke kantor perwakilan Batavia Air setempat untuk proses pengembalian uang. Seluruh karyawan Batavia Air mulai 31 January 2013 diberhentikan secara hormat, kecuali mereka yang ditunjuk sebagai tim pemberesan. Kewajiban perusahaan kepada karyawan akan mengacu UU Ketenagakerjaan”, tegas Elly. Nasib 3.400 karyawan Batavia Air kini menunggu arahan dari para kurator yang membantu menangani segala urusan dan dampak dari penutupan perusahaan Batavia Air. Tim kurator yang dipilih oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat akan menangani berbagai dampak, termasuk urusan refund atau endorse tiket para penumpang, kargo, pajak/tax, penyelesaian karyawan Batavia Air, mitra terkait seperti para travel agent, kreditor, dan lain-lain.
Batavia Air didirikan pada 2002 oleh keluarga Yudiawan Tansari, pengusaha asal Pontianak dan mengoperasikan 33 pesawat. Batavia Air selama ini melayani 42 rute penerbangan domestik dan internasional di antaranya ke Singapura, Jeddah, Riyadh, Kuching, Dili, Guangzhou, dan Hangzhou. Batavia menguasai 10% pasar penerbangan domestik.
Cabut Gugatan
Sidang Kepailitan Batavia Air kemarin pagi awalnya hanya berlangsung 10 menit, karena tiba-tiba pihak penggugat menyatakan akan mencabut gugatan pailit, dengan alasan sudah ada proses negosiasi. Namun, kuasa hubum Batavia Catur Wibowo menolak pencabutan gugatan karena merasa sudah tercemarkan nama baiknya. “Nama baik kami sudah dicemarkan dan sudah hancur, publik sudah tidak percaya kepada kami,” kata Catur. Bahkan Batavia berniat menggugat balik ILFC.
Bagus Irawan mempertanyakan penolakan Batavia untuk berdamai dengan ILFC. “Ini menjadi tanda tanya juga, berarti Batavia pasrah dan setuju dipailitkan. Mungkin mereka sudah menghitung secara keuangan sudah kolaps dan tidak mungkin terselamatkan”, uangkapnya.
Rencana Darurat
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti Singayuda Gumay meminta Metro Batavia menyiapkan rencana darurat (contingency plan) terkait penghentian operasi maskapai. Batavia Air diminta berkoordinasi dengan maskapai penerbangan lain untuk menampung penumpang Batavia Air. “Kami sudah minta contingency plan untuk penumpang penerbangan 31 Januari 2013. Kami sudah memanggil Batavia dan mengajak beberapa airline bekerjasama,” ujar Herry dalam jumpa pers kemarin.
Terkait hal tersebut, PT Mandala Airlines telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dan bersedia mengisi beberapa rute eks Batavia, sekaligus siap mengangkut penumpang yang telah memiliki tiket Batavia. Selain itu, Kemenhub juga meminta bantuan maskapai lain menampung penumpang Batavia Air dengan harga minimum. “Kalau ada seat untuk rute sama, tolong ditampung dengan harga paling rendah”, katanya . Batavia Air mulai tanggal 31 juga diminta menempatkan petugasnya di lapangan agar dapat memerikan informasi dan penjelasan kepada calon penumpang.
Herry mengakui, Kemenhub sudah menduga Batavia Air bakal dipailitkan. Bahkan pihaknya sudah tahu kondisi Batavia ketika hendak dibeli Air Asia pada September 2012. Air Asia ketika itu hendak membeli Batavia seharga USD80juta. Namun tiba-tiba Air Asia membatalkan akuisisi setleh melakukan audit, dengan alasan berisiko.
Semenjak itu, Kemenhub terus mengawasi Batavia dan memanggil manajemen dua kali. Kemenhub juga sudah mengingatkan Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo) untuk mengantisipasi soal Batavia. Sebelum dipailitkan, dari 33 unit pesawat Batavia, sekitar 19 pesawat sudah ditarik oleh lessor, sehingga hanya tersisa 14 pesawat. Dari 14 pesawat itu hanya sekitar 7 pesawat yang beroperasi dan sudah tua.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penerbangan Nasional (Inaca) Tengku Burhanuddin prihatin dengan pailitnya Batavia Air. Dia mengimbau maskapai lebih mengutamakan kepentingan penumpang. Pemerintah perlu mengaudit keuangan dan opersional secara intensif. “Harus ada early warning system dan tindakan tegas dari pemerintah”, kata Tengku.
Persaingan Ketat
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan, Batavia Air sulit bertahan di tengah persaingan bisnis yang sangat ketat khususnya di segmen penerbangan murah (LCC) karena gagal melakukan efisiensi. Maskapai cenderung jor-joran menurunkan tarif, sementara margin keuntungan sudah tipis akibat tekanan harga bahan bakar.
Mantan anggota Komisi VII DPR ini juga menyebut Batavia gagal melakukan terobosan seperti Lion Airlines, dengan menggenjot jumlah penumpang di saat margin keuntungan tipis. Selain itu, karena Batavia gagal dalam tender penerbangan haji, pesawat yang ada mestinya dialihkan untuk angkutan sektor lain.
Pengamat penerbangan dari Universitas Gajah Mada Arista Atmadjati mengatakan, Batavia Air tumbang lantaran pemegang saham maskapai yang notabene perusahaan keluarga itu kurang profesional. “Kebanyakan manajemen keluarga dan tidak profesional. Kalau sudah sedikit established mereka mulai ekspansi ke luar bisnis intinya,” ujar dia.
Menurut Arista, tidak sedikit maskapai penerbangan yang jatuh akibat terlalu eskpansif, seperti Staf Air pada tahun 2000 yang tumbang karena membangun hotel di Bali. Demikian pula, maskapai Indonesia Airlines tahun 2001 ambruk, karena langkah ekspansi mereka yang tidak dibarengi dengan kuatnya basis pelanggan domestik. “Kasus tumbangnya manajemen keluarga di bisnis penerbangan juga telah menimpa Maskapai Adam Air tahun 2005 dan Bouraq,” ujar dia.
Saat ini, Arista melihat potensi rontoknya maskapai penerbangan nasional. Dia menyebutkan saat ini ada beberapa maskapai yang kurang kuota penumpang seperti Riau Airlines, Linus Air, dan Royal Pacific. Beberapa maskapai lain ditengarai juga sedang bleeding.
Karena itu, mereka menekankan agar kasus Batavia ini menjadi pelajaran agas maskapai dikelola dengan manajemen yang profesional, kondisi keuangan harus solid, dan jangan terlalu ekspansif. Herry Bhakti sebelumya juga mengingatkan tingkat kompetisi yang sengit di segmen LCC. Dari total jumlah penumpang angkutan udara 2011 sebanyak 60 juta orang, 70-80% dikuasai penumpang LCC. “Namun, peluang bisnis LCC masih sangat besar. Pada 2013, jumlah penumpang masih tumbuh tinggi”, ujarnya.
Direktur Utama PT Citilink Indonesia Arif Wibowo memperkirakan jumlah penumpang angkutan udara pada 2015 mencapai 90,6juta orang. Dari jumlah itu sekitar 80% adalah pasar kelas medium dan LCC. Pada 2012, jumlah penumpang LCC tercatat sekitar 49,65juta orang atau 75% dari total penumpang angkutan udara sebanyak 66,2juta orang. Pasar LCC di Indonesia rata-rata tumbuh 18% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pasar penerbanganan nasional sebesari 16,3%.
(Sumber: Investor Daily 31 Januari 2013)